Saturday, March 28, 2009

Antara titik dan koma


Tidak terasa kaki ini sudah empat tahun menjajakkan di negeri seribu menara, tidak terasa pula bahwa kini kawan-kawan seangkatan mulai satu-satu meninggalkan tanah para anbiya. Aura memancar dari mereka yang dengan bangga akan kembali ke tanah air dengan berbekal Lc nya. Tidak sedikit pula terlihat redupan aura yang kian pias terkena panasnya cairo.

Langkah gontai terlihat dari segerombolan kawan yang merasa sudah mencapai titik jenuh kalah berkelahi dengan diktat kuliah, mata mereka sembab terkena tohokan natijah yang tak kunjung membaik.

Arus masisir yang sedu sedan bak gelombang siap menerkam siapa saja, hanya segelintir masih tertancap kuat bak karang tak tergoyahkan, sisanya hanyut bak sampah bau tak terkira.

Tapi aneh,... diantara aura memancar terlihat hati yang gamang nan bingung seperti orang linglung yang tidak tahu kompas kehidupan, tidak tahu mengapa?...

Diri yang termasuk sampah ini tidak mau menjadi titik tapi terus menjadi koma-koma dalam setiap bait kalimat, kumelihat ada orang yang bangga sudah mencapai titik puncak tertinggi dari himalaya dan menancapkan bendera kebanggaannya tapi belum mampu mengalahkan pegunungan nafsu didadanya.

Dalam usaha memperbaiki diri selalu ada titik-titik penghalang bak dinding baja tak tertembus, setiap kali mencoba merobohkannya selalu titik-titik air mata yang di raih. Pahit nan perih selalu menemani tapi doa dan ikhtiar selalu menjadi koma-koma dalam bait-bait kehidupan.

Tidak mau berhenti pada titik dan berusaha mengalahkan dengan koma-koma yang selalu bergelora di dada walau kadang redup terkena percikan dari titik-titik air hujan cobaan.

Kadang terlelap dalam selimut kala derasnya hujan, kadang hangus terbakar bermandikan keringat kala terik mentari tapi ku tak mau menjadi titik, aku harus selalu menjadi koma selama nyawa di kandung badan.

Rasa nyinyir kala habis berkomunikasi dengan keluarga, rasa tak punya muka kala bersua dengan kawan yang terbiasa menapaki titik-titik kehidupan, rasa sesal kala menoleh kebelakang, rasa muak kala bercermin pada tembok tembok tua di jalanan.

Hanya ucapan selamat terutarakan, kala berjumpa dengan kawan yang sukses menapaki tangga-tangga dengan senyum disertai doa di hati semoga kalian selalu sukses menapaki jalanan yang penuh onak dan duri, penuh dengan topeng kepalsuan.

Iri di hati pasti ada tapi ini bukan satu titik tapi menjadi koma untuk bangkit dari keterpurukan karena lama berdengkur yang akhirnya tersungkur dalam tumpukan sampah masisir.

Masih kuat dalam ingatan ketika pertama kali berkumpul di mahbubiah, ikatan emosi mulai tejalin erat walaupun pada perjalanannya simpul simpulnya mulai renggang dan terlepas sati satu, semoga ini tidak menjadikan tali silaturahmi kita memudar.

Tawa senyum kalian kan terukir dalam sanubari serta terlukis dalam lukisan hati walaupun dalam bentuk abstrak karena hanya itu yang mampu kulakukan karena bukan ahli lukis apalagi ukiran.

Dalam keterpurukan yang hanya berteman dengan sampah-sampah Cairo yang selalu terkais kais anjing jalanan, orang-orang selalu menutup hidung ketika melewatinya kusempatkan menengadah ke langit tuk mendoakan kalian kawan, semoga kalian selalu mampu menghadapi jalanan yang sebenarnya ketika pulang nanti, walaupun ku tak tahu apakah yang di atas berkenan mengabulkannya karena terlalu banyak hijab menjadi penghalangnya tapi satu yang ku yakini Dia Maha Mendengar.

....bersambung.

0 comments: