Sunday, October 19, 2008

Pada Sehelai Batik Cirebon


Ada falsafah dalam goresan demi goresan ornamennya.

Kain sepanjang 9x2 meter itu berlukiskan wayang yang bertutur tentang cerita Babad Alas Wanamarta. Ada ciri khas mega mendung dan wadasan pada lukisan yang didominasi dengan warna biru, cokelat, dan merah muda tersebut. Di atas bentangan kain itu, terpampang piagam dari Museum Rekor Indonesia yang menganugerahkan pada pembuat kain, Katura AR, karena berhasil membuat batik tulis dengan cerita wayang terbesar.


Torehan prestasi Katura, seorang perajin dan tokoh batik cirebon, itu sekaligus mengungkap kekayaan batik di kota yang terletak di kawasan pesisir Laut Jawa ini.Kekayaan yang telah terkuak sejak abad ke-15 ketika para pemimpin di negeri ini telah mengenakan batik sebagai busana mereka.Tak sekadar batik, ada keistimewaan di balik goresan malam (cairan untuk membatik) dari para perajinnya. Seperti diungkap Ratu Raja Arimbi Nurtina, adik Sultan Kanoman, pola pembatikan pada batik cirebon hadir lebih halus dengan goresan tinta malam yang lebih tipis dan kecil-kecil. Berbeda dengan torehan tinta pada batik daerah lain yang terasa lebih tebal.

Jenis batik cirebon sendiri terbagi menjadi batik keraton dan pesisir. Batik keraton didominasi dengan warna klasik yang redup, sedangkan batik pesisir mirip batik pekalongan yang meriah dengan warna-warna cerah.Sedangkan motifnya tampil lebih beragam dengan keunikan dari tampilan hewan laut, darat, dan udara, serta flora.Namun, yang terpenting adalah batik cirebon menghadirkan falsafah pada helai demi helainya untuk menyampaikan pesan moral di dalamnya. Sebutlah seperti motif 'naga uta-uta' yang memberikan pesan agar terus menjaga agar tidak sampai rakus.

Sayangnya, tatkala kembali disandingkan dengan batik daerah lain untuk urusan pamor, batik cirebon justru bak tenggelam. Gaungnya tak kencang terdengar. Arimbi memberikan alasan sendiri tentang ini. ''Ini karena ada unggah ungguh (tata krama). Orang Cirebon tidak berani kalau belum ada izin dari keraton,'' ujarnya.Apalagi, pihak keraton tidak mengeluarkan motif asli keraton. Buntutnya, banyak motif yang dengan seenaknya dibuat sendiri oleh para perajin. Ini pula yang terjadi pada motif mega mendung. Sebenarnya, demi menjaga nilai-nilai falsafah, motif mega mendung tidak dikeluarkan.

Terlebih, falsafah tinggi mega mendung yang dibuat terputus dengan pemaknaan agar jangan sampai terputus hubungan dengan Sang Pencipta itu justru hadir berbeda ketika beredar di pasaran.Katura, tokoh batik cirebon, punya analisis berbeda. Untuk dia, batik cirebon yang terkesan mati suri itu lantaran minimnya inovasi dan tidak adanya pengusaha besar yang mendukung perkembangan batik ini. ''Kondisi ini berbeda dengan Pekalongan yang didukung oleh pengusaha-pengusaha besar,'' ujarnya.

Sabtu pagi (18/10), Pasar Kanoman, Cirebon, telah sesak dengan pedagang. Becak-becak yang berjalan seenaknya dan parkir sembarangan pun kian memantapkan pemandangan semrawut itu. Aroma khas pasar lantas menyengat hidung.
Setelah berjalan sekitar 100 meter dari atmosfer ruwet itu, kita akan menemui keleluasaan yang menyejukkan. Rasa tenang dari kelapangan keraton seluas lima hektare, Keraton Kanoman.

Hari itu, di salah satu sudutnya, tampak keriuhan yang berbeda. Sekitar 20 orang perempuan dan laki-laki tengah sibuk menorehkan goresan malam di atas kain. Inilah kegiatan berbeda Keraton Kanoman yang telah berlangsung hampir dua bulan lalu.
Dengan bantuan dana dari BRI lewat program kartu kreditnya yang menyisihkan 0,2 persen dari tiap transaksi, Keraton Kanoman Cirebon pun bangkit untuk melestarikan batik khas warisan budaya leluhur.

Sekitar 10 orang dari keluarga tidak mampu, beberapa anak putus sekolah, dan empat orang yang memang berbakat tampak diawasi oleh Arimbi yang juga menjadi direktur Pusat Pelatihan Batik Keraton Kanoman.Sebelumnya, kepiawaian mereka itu telah dipertontonkan ketika diadakan acara gala dinner peluncuran secara resmi pelatihan batik Keraton Kanoman yang merupakan kerja sama Brains & Co dan BRI itu.

Kesungguhan serupa pun kembali tampak setidaknya dari ketekunan Romlah (67 tahun) yang terlihat bangga memamerkan hasil karyanya. Dengan bantuan kacamatanya yang tebal, Romlah perlahan memainkan cantingnya. Tampaknya, batik menjadi gairah tersendiri untuk nenek yang mengaku anak dan cucunya tidak ada yang tertarik untuk belajar membatik. Semangat serupa itu pula yang membuat dia rela buru-buru mengikuti pelatihan meski telah tertinggal dua hari dari teman-temannya yang lain.

Setelah mahir, keinginannya pun sederhana saja. ''Saya ingin ikut Ibu Arimbi kalau terpakai. Tapi, tidak tahu kalau yang dipilih yang muda-muda,'' ujarnya.William Kwan dari Perkumpulan Nurani Budaya, lembaga yang turut menghimpun para perajin tersebut, mengungkap pelatihan ini kelak dapat membantu meningkatkan keterampilan, pengetahuan, serta sikap profesionalisme para peserta agar mereka dapat menghidupi diri sendiri.Dan, semangat dan tekad juga yang membangkitkan harapan agar nantinya batik cirebon tak hanya lestari, tetapi juga berkembang. Seperti tekad Katura yang berniat terus mengembangkan batik cirebon, ''Hingga tetes malam yang terakhir.'' neh

0 comments: