Tuesday, May 10, 2011

Imajinasi Tentang NII dan N11

Oleh
Indra J Piliang
Lulusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia

Anggap saja saya sedang keranjingan menulis lagi. Tak apa toh? Kali ini kembali soal NII (Negara Islam Indonesia). Entah mengapa, berita tentang NII ini lebih banyak daripada masalah-masalah mendasar bangsa ini. Sebut saja yang menyangkut beragam kegagalan dalam Ujian Nasional yang beranggaran besar itu. Atau nasib dunia pendidikan yang tak juga membaik, setelah diguyur APBN sebesar 20%.


NII aslinya dimunculkan oleh Kartosuwiryo, teman diskusi Soekarno. NII lahir pada tanggal 7 Agustus 1949. Lalu, muncul gerakan-gerakan lokal lain yang berimam ke Kartosuwiryo, yakni oleh Daud Beureueh di Aceh, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, Amir Fatah di Jawa Tengah dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Beragam skripsi, tesis dan disertasi sudah ditulis menyangkut masalah ini. NII otomatis binasa setelah Kartosuwiryo ditembak di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, pada tahun 1962. Di atas kuburan Kartosuwiryo ditanami batang pohon pisang.

Ndilalahnya, 49 tahun kemudian, NII hadir kembali. Kali ini bukan dalam bentuk perjuangan bersenjata. Bagaimanapun, gerakan yang dilancarkan oleh Kartosuwiryo, Daud Beureueh, Ibnu Hadjar, Amir Fatah dan Kahar Muzakkar adalah gerakan bersenjata. Tujuannya mengubah bentuk negara ke negara Islam dan berhadapan dengan tentara nasional Republik Indonesia. Apalagi, sebelum kembali ke negara kesatuan Republik Indonesia, Belanda membentuk sejumlah negara dalam sistem negara serikat.

Muhammad Natsir yang mengembalikan bentuk negara ke arah kesatuan dengan Mosi Integral pada 5 April 1950. Karena itu, Natsir diangkat menjadi Perdana Menteri. Kalaupun kemudian Natsir dituduh lagi terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Rakyat Indonesia (PRRI), tidak lebih karena iklim dan dinamika politik kalangan pergerakan. Kita tahu, Sutan Syahrir meninggal dunia dalam status sebagai tawanan dalam pemerintahan Soekarno. Muhammad Hatta meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden RI.

Jadi, NII dalam konteks kalangan pergerakan dulu adalah bagian dari dinamika kebangsaan kaum republik. Ada yang berkehendak ke kiri, ada yang ke kanan. Sebetulnya masalah ini hampir selesai di Dewan Konstituante. Namun, Soekarno yang telanjur tidak sabaran malahan membubarkan lembaga hasil pemilu 1955 ini dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Akibatnya, baik gerakan kiri, maupun gerakan kanan, menyembunyikan ideologi pergerakan masing-masing di luar jalur parlemen.

Nah, ketika kini muncul kembali NII, kita layak bertanya, apakah masih layak disebut sebagai gerakan perlawanan bersenjata dengan cita-cita tunggal mengubah bentuk negara? Atau sekadar Kuda Troya guna mengambil keuntungan ekonomi dalam skala kecil dan besar? Saya agak khawatir bahwa perdebatan menyangkut NII  terlalu banyak dibumbui oleh penyakit bangsa ini dalam tahun-tahun kebebasan belakangan ini. Apa itu? Ya, seperti pembuka tulisan ini, kebiasaan membicarakan segala sesuatu oleh semua orang, tanpa ada agenda yang jelas untuk diselesaikan dengan cara yang bagaimana.

Maka, saya lebih tertarik menyebut NII zaman ini dengan N11. Ya, itu kata sandi yang selama ini dipakai oleh pihak intelijen, tetapi telanjur menjadi akrab di telinga masyarakat. Ironisnya, kata N11 ini lebih akrab di kalangan mahasiswi, ketimbang mahasiswa, terutama di kampus-kampus “sekular”.

Istri saya ketika menjadi mahasiswi di Jurusan Ilmu Kimia FMIPA UI, pernah hampir ikut pengajian ala N11 ini. Untung karena berhalangan, dia tidak ikut. Hanya, temannya ikut dan mengalami nasib harus memberikan sejumlah uang kepada kelompok pengajiannya itu. Lama kelamaan, teman istri saya itu menyadari masalahnya, lalu menghindari kelompok pengajiannya, dengan resiko ditelepon dan diancam macam-macam, termasuk hendak dibunuh. Ketika adik perempuan ipar saya – sepupu istri – juga mengalami pendekatan yang sama di sebuah kampus swasta bonafid, istri saya sudah tahu arahnya dan memberikan pengertian.

Munculnya kasus yang sama belakangan ini menunjukkan bahwa aktivitas ala N11 itu tidak berhenti. Namun, apakah benar motifnya sama dengan NII? Apakah ada senjata-senjata ditemukan? Kalau hanya kelompok yang doktrin keagamaannya keras, cenderung ekstrim, dalam artian fanatik, kita sudah banyak menemukan dalam organisasi keormasan. Konflik di Ambon dan Poso menjadi cermin betapa doktrin fanatik dan puritan itu masuk ke tengah-tengah masyarakat, seiring dengan berkecambahnya pemikiran tentang “perbenturan peradaban” menurut Samuel P Huntington yang menjadi rujukan banyak ilmuwan dunia.

Belakangan, muncul lagi tuduhan terhadap pesantren Al-Zaytun di Indramayu. Al Chaidar, teman saya yang dulu kuliah di FISIP UI, jauh-jauh hari sudah menulis buku soal itu. Dia sudah memberi penjelasan rinci. Namun, masalah itu tidak menjadi persoalan bagi pemerintah pusat dan daerah, malahan baru kini diungkit kembali. Yang semakin lucu, munculnya anak Panji Gumilang sebagai anggota DPRD Partai Golkar malah dikait-kaitkan dengan NII. Padahal Al Chaidar memberikan penjelasan bahwa Al Zaytun bukan NII. Alangkah anehnya bila santri-santri di pesantren terbesar di Asia Tenggara itu berada di markas besar sebuah gerakan yang dinyatakan terlarang di Republik Indonesia.

N11 yang dulu hanya menjadi bagian dari cerita para mahasiswi yang menjadi korban doktrin keliru, kini diangkat ke permukaan seolah menjadi masalah besar bangsa ini. Apakah ini bukan imajinasi? Atau saya yang terlalu menganggap penting segala macam komentar dari para ahli yang berbicara tanpa saringan di media massa, siang dan malam? Andai operasi pesantren Al Zaytun dihentikan, lantas sejumlah orang ditangkap, apakah masalah NII dan N11 ini akan terus menerus hadir di keseharian kita? Saya berimajinasi lagi, pasti akan ada terus.

N11, mari kita berimajinasi….

Jakarta, 03 Mei 2011

0 comments: