Tuesday, May 3, 2011

Mitos-mitos Seputar Abd al-Qadir al-Jilani: Kritik Irasionalitas dalam Tradisi NU

Oleh Irwan Masduqi

Kaum Nahdhiyyin sangat mengkultuskan Abd al-Qadir al-Jilani. Mereka juga yakin akan kekramatan al-Jilani. Tulisan ini akan mengkaji kekramatan-kekramatan itu dalam rangka rasionalisasi tradisi NU. Kesarjanaan Islam ortodoks pada era skolastik sejujurnya telah meninggalkan warisan tradisi intelektual yang berharga berupa puluhan karya tulis yang mengupas biografi ‘Abd al-Qadir al-Jilani. Untuk sekadar menyebut, misalnya, Buhjah al-Asrar wa Ma’dan al-Anwar karya Syathnufi, Qalaid al-Jawahir fi Manaqib al-Syaikh ‘Abd al-Qadir karya al-Tadifi, Syamsy al-Mafakhir karya Muhammad bin Muhammad al-Bahsyi al-Halbi, Khulashah al-Mafakhir fi Ikhtishar Manaqib al-Syaikh ‘Abd al-Qadir karya Abu As’ad al-Yafi’i, ‘Aqd Jawahir al-Ma’ani fi Manaqib al-Syaikh al-Jilani karya Syaikh Ahmad bin Abd al-Qadir, Tuhfah al-Abrar wa Lawami’ al-Anwar fi Manaqib al-Sayid Abd al-Qadir wa Dhuriyatihi al-Akabirkarya ‘Ala al-Din al-Jilani, Nazhah al-Khathir al-Fatir fi Tarjamah Sayidi ‘Abd al-Qadir karya Mulla Ali Bih Sulthan, Bustan al-Ashahir wa al-Akabir fi Tarjamah Sayid ‘Abd al-Qadir karya Abd al-Hayi al-Qadiri,Riyadh al-Basatin fi Akhbar al-Syaikh ‘Abd al-Qadir karya Muhammad Amin bin Ahmad al-Kaylani, al-Janyu al-Dani fi Nubdzah min Manaqib al-Quthb ‘Abd al-Qadir al-Jilani karya Ja’far bin Hasan al-Barzanji, Anwar al-Nadhir fi Ma’rifati Akhbari al-Syaikh ‘Abd al-Qadir karya Abu Bakar Abdullah bin Nashr Hamzah al-Bakri al-Shidiqi, al-Nur al-Burhani fi Tarjamah al-Lujayn al-Dani fi Dzikr Nubdzah min Manaqib al-Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani karya Abi Lathif al-Hakim Mushlih bin ‘Abd al-Rahman al-Muraqi, dan lain-lain.

Namun, sayangnya, puluhan karya-karya tersebut secara umum ditulis atas dasar pengkultusan yang relatif berlebihan terhadap sosok wali yang dikramatkan itu. Karya-karya tersebut juga dipenuhi berjibun mitos-mitos yang dianggap sebagai tanda kekramatan ‘Abd al-Qadir al-Jilani. Karya-karya tersebut sebenarnya merupakan data-data antropologis yang cukup penting. Namun, dalam konteks kajian kritis terhadap biografi al-Jilani, data-data yang sarat mitos tersebut akan penulis kaji dengan kaca mata kritis.

Pendekatan mitis yang berpotensi menciptakan sikap-sikap pengkultuasan wali harus dihindari. Namun hal itu bukan berarti bahwa penulis menafikan secara keseluruhan peran mitos dalam membentuk dan menggerakan dinamika sosial. Dalam perspektif antropologi aplikatif, mitos tidak senantiasa dinilai sebagai hal negatif. Mitos, di mata para antropolog, terkadang punya dampak positif dalam mentransformasikan masyarakat menuju ke arah yang lebih baik. Satu contoh dalam kaitannya dengan mitos-mitos kekramatan ‘Abd al-Qadir al-Jilani, misalnya, diriwayatkan bahwa beliau memiliki kekuatan supra-natural meremas-remas kepingan uang dirham hadiah dari penguasa yang korup hingga kepingan tersebut hancur. Nah, dari perspektif antropologi aplikatif, narasi mitis ini tidak ditelan mentah-mentah secara apa adanya. Antropologi aplikatif tidak hendak menverifikasi atau menfalsifikasi apakah mitos tersebut benar atau salah. Antropologi aplikatif lebih menekankan bahwa mitos tersebut bernilai positif karena memiliki peran membentuk masyarakat anti korupsi.

Dengan demikian, penolakan penulis terhadap mitos hanya terbatas pada mitos-mitos kekramatan yang disetting dan diproyeksikan oleh para pengikut fanatik ‘Abd al-Qadir al-Jilani sebagai media pengkultusan, seperti mitos bahwa ‘Abd al-Qadir al-Jilani mampu menghidupkan ayam mati. Setelah dihidupkan, ayam tersebut berkokok dengan suara “la ilaha illallah Muhammad Rasulullah al-Syaikh ‘Abd al-Qadir waliyullah” (Tidak ada tuhan selain Allah. Muhammad utusan Allah. Syaikh ‘Abd al-Qadir kekasih Allah). Mitos-mitos yang murni sakralisasi dan pengkultusan seperti ini harus ditolak demi keselamatan akidah tauhid. Tetapi penulis akan mengapresiasi mitos-mitos yang bermanfaat membangun dinamika sosial ke arah yang lebih baik.

‘Abd al-Qadir al-Jilani dilahirkan pada tahun 470 H/1077 M di daerah Jilan, Iran, dan wafat pada tanggal 9 Rabi'ul Akhir tahun 561 H di daerah Bab al-Azaj, Baghdad. Al-Jilani hidup di tengah-tengah kondisi sosial yang mengalami krisis dalam berbagai dimensi kehidupan. Dalam percaturan politik, al-Jilani menyaksikan sistem pemerintahan teokratis yang penguasanya tak segan-segan mempolitisasi agama demi memenuhi ambisi merebut dukungan dan simpati. Pemegang otoritas kekuasaan juga dengan semena-mena membebani masyarakat dengan pajak yang mencekik kaum miskin. Bahkan, saat tiba di Baghdad untuk pertamakalinya, tepatnya pada tahun 488 H, al-Jilani melihat kelaliman Abd al-Malik, menteri Khalifah al-Mustadzhir, yang melegalkan tempat-tempat maksiat. Pada saat itu, al-Jilani mungkin merasakan keprihatinan sebagaimana yang pernah dirasakan oleh kaum Marxis belakangan, seperti Antonio Gramsci. Ia menyadari bahwa agama merupakan sumber nilai kultural yang berpotensi dibajak oleh kelompok tertentu guna melegitimasi ragam kepentingan. Agama dapat diselewengkan dan menjadi ‘candu masyarakat’, kata Karl Marx.

Dalam ranah keagamaan, al-Jilani hidup di tengah-tengah masyarakat yang kehilangan dimensi spiritual. Agama hanya tinggal formalitas belaka yang miskin esensi. Banyak masyarakat yang mendengar khutbah-khutbah keagamaan di masjid-masjid, namun, setelah usai melakukan aktivitas ritual, mereka kembali melakukan kebohongan dan korupsi. Ritual shalat masih didirikan, tapi tak dapat membendung masyarakat dari perbuatan mungkar. Puasa juga masih dikerjakan, namun tak dapat menumbuhkan rasa solidaritas dan kepekaan sosial. Pada saat bersamaan, tidak sedikit ulama yang kehilangan kharismanya di mata masyarakat, sehingga wejangan keagamaan mereka hanya beda tipis dengan banyolan Abu Nawas. Kondisi ini disebut oleh para penulis biografi al-Jilani sebagai penyebab utama kekecewaan mendalam yang dirasakan oleh al-Jilani. Tetapi di sisi lain, kondisi sosio-kultural inilah yang justru menjadi pelecut baginya untuk membangun misi dan visi dakwah yang berorientasi ke masa depan yang lebih bermoral.

Berkat peran sosial-keagamaannya, al-Jilani mendapatkan popularitas di Baghdad. Ini adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Namun sayangnya para penulis Manaqib mengilustrasikan popularitas itu secara berlebihan dan penuh mitos. Konon popularitas al-Jilani seperti popularitas matahari. Ilustrasi seperti ini adalah lebay dan hiperbola yang bertujuan mensakralkan. Popularitas itu konon didapat ketika suatu hari ‘Abd al-Qadir al-Jilani berkumpul bersama seratus fuqaha Baghdad. Para fuqaha kemudian mengumpulkan sejumlah masalah-masalah hukum dan ditanyakan kepada ‘Abd al-Qadir al-Jilani untuk menguji kemampuan ilmunya. Lalu muncul cahaya terang dari dada al-Jilani. Cahaya itu berjalan melewati dada-dada para fuqaha dan membasuh kotoran-kotoran yang ada di hati fuqaha. Spontan fuqaha tercengang, berteriak, menyobek-nyobek pakaian mereka, dan melepas surban di kepala mereka. Kemudian ‘Abd al-Qadir al-Jilani duduk di kursi dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan fuqaha. Pada saat itulah fuqaha mengakui ilmu al-Jilani dan tunduk padanya.

Narasi hiperbola ini sangat terkesan tidak masuk akal, meskipun di sisi lain kita dapat mempercayai keilmuan al-Jilani dengan bukti pemikiran-pemikirannya yang genial dalam karya-karyanya. Pesan yang ingin disampaikan oleh narasi ini adalah tingginya keilmuan al-Jilani. Namun sayangnya keilmuan itu diceritakan dengan nuansa pengkultusan yang berlebihan.

Manaqib juga menceritakan bahwa al-Jilani adalah pembela rakyat jelata dan orang-orang yang tertindas. Al-Jilani tidak mau berdiri menghormati orang-orang kaya atau penguasa dan tidak mau menerima hadiah dari khalifah. Suatu hari khalifah datang membawa hadiah buah apel tetapi spontan apel itu mengeluarkan darah. Dari cerita ini dapat diambil pesan positif bahwa al-Jilani sangat peduli dengan kaum proletar, tidak rakus dengan harta kaum borjuis, dan menolak pemberian penguasa yang korup. Khalifah yang korup itu pun akhirnya mau bertaubat di depan al-Jilani dan menjadi muridnya hingga ia meninggal dunia. Namun dalam narasi tersebut terdapat mitos yang negatif bahwa buah apel bisa mengeluarkan darah. Mitos ini murni buatan pengikut fanatik al-Jilani yang bertujuan mengkultuskannya.

Mitos yang hiperbola ini disebut oleh Ibn Khaldun, sosiolog Muslim, dengan istilah al-maghalith(kesalahan-kesalahan). Thaha Husain menyebutnya dengan nataj al-khayal (produk khayalan). Deskripsi hiperbola muncul disebabkan dua unsur: unsur manusia dan unsur bahasa. Manusia dalam menceritakan sebuah informasi biasanya memiliki dua tujuan; tujuan menyampaikan informasi dan tujuan mempengaruhi pendengar. Tujuan murni menyampaikan informasi lebih condong pada cara-cara agar dapat dipercaya. Sedangkan tujuan mempengaruhi membutuhkan metode-metode untuk mencapai tujuannya, seperti berbohong, menambahkan muatan berita, lebay, dan hiperbola.

Qadamah ibn Ja’far (w. 326 H) mendefinisikan hiperbola dengan istilah al-ghulwu, yakni berlebihan dalam mendeskripsikan sebuah objek hingga kadang keluar dari karakter aslinya dan tidak alami. Menurut Tzvetan Torodov, dalam Introduction a la litterature fantastique, menyatakan bahwa hiperbola dalam menceritakan sesuatu memiliki tujuan agar beritanya terkesan fantastik.

Lalu apa pendapat al-Jilani tentang kekramatan? Karamah menurut al-Jilani adalah “akibat pantulan cahaya Allah pada hati seorang sufi yang menjadi kekasih-Nya. Cahaya itu muncul dari cahaya universal ilahi”. Dengan cahaya ilahi, seorang wali dapat memiliki kekramatan di luar kebiasaan. Menurut al-Jilani, orang-orang yang memiliki kekramatan luar biasa adalah para wali yang mendirikan ibadah saat orang lain tidur, puasa saat orang lain makan, dan wali senantiasa melakukan hal-hal yang luar biasa dalam mendekatkan diri pada Allah sehingga kebiasaan tidak berlaku baginya. Kekramatan yang di luar kebiasaan manusia dalam beribadah ini harus dirahasiakan oleh para wali. Dari keterangan al-Jilani ini menjadi jelas bahwa kekramatan seorang wali terletak pada cara ibadahnya yang luar biasa, bukan pada kekuatan supra naturalnya yang penuh mitos.

Lalu bagaimana sikap ilmiah dalam menyikapi mitos irasional tersebut? Mengingkari mitos-mitos yang diyakini sebagai karamah atau kekramatan al-Jilani adalah langkah hati-hati agar umat Islam tidak terjebak dalam takhayul. Selain itu, mengingkari karamah tidak dapat mengakibatkan umat Islam murtad. Benar bahwa al-Ghazali, al-Qusyayri, dan beberapa sufi Sunni tidak menutup kemungkinan adanya kekuatan di luar kebiasaan yang dimiliki oleh para wali atas izin Allah. Namun menurut Ibn Rusyd, mempercayai perkara di luar kebiasaan yang menyalahi hukum kausalitas hanya akan mengakibatkan umat Islam terjebak dalam irasionalitas. Tidak hanya mengingkari kekramatan para wali yang di luar kebiasaan, Ibn Rusyd juga mengingkari mukjizat-mukjizat di luar kebiasaan Nabi.

Ibn Rusyd meyakini bahwa satu-satunya mukjizat Nabi hanyalah al-Quran. Orang-orang Quraisy sering menantang Nabi agar mendatangkan mukjizat supra natural, namun ayat al-Quran turun menjelaskan bahwa Muhammad saw. hanya manusia biasa yang tidak mampu mendatangkan hal-hal yang supra natural (QS. Al-Isra’: 93). Al-Quran kemudian menegaskan apakah tidak cukup bagi mereka sebuah mukjizat yang diturunkan kepada Muhammad saw berupa al-Quran yang di dalamnya terdapat kasih sayang dan pelajaran bagi kaum yang beriman? (QS. Al-Isra’: 51\).

Al-Baqilani menambahkan bahwa ada dua cara mengetahui mukjizat; mukjizat al-Quran dapat diketahui secara meyakinkan dan tidak mungkin dingkari (la yumkinu jahduhu), tetapi mukjizat seperti Nabi bisa menyulap makanan sedikit menjadi banyak, kayu bisa bertasbih, dan lain-lain adalah mukjizat yang bersifat teoretis (nadzary wa al-istidlaly). Konsekuensinya ia masih bisa diperdebatkan keberadaannya dan perdebatan seputar hal itu tidak menyebabkan murtad. Nah, jika ulama berani memperdebatkan kebenaran mukjizat supra natural Nabi, mengapa kita takut memperdebatkan kekramatan dan mitos-mitos Abd al-Qadir al-Jilani? Masihkah kita percaya pada mitos? Apa ruginya jika kita menolak mitos? Apakah hanya takut tidak mendapatkan barokah lantas kita harus meyakini mitos?

Penulis adalah murid tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah

0 comments: