Sampai saat ini hukum masih dibuat mainan.UU dibuat hanya sebagai  label kosong pemerintah. Poligami diatur sedemikian rupa untuk sebuah  perangkat saja.Prostitusi menjadi wacana yang wajar-wajar saja. Gaya  hidup kumpul kebo menjadi trend pemuda malahan pejabat. Sudah waraskah  otak pelaku bangsa ini?
Meledaknya kasus poligami Aa Gym di media massa menjadi satu  perhatian utama publik. Banyak di antara kaum wanita menyompan  keprihatinan yang mendalam tentang kasus itu. Sebenarnya poligami itu  wajar-wajar saja, karena peristiwa itu melekat pada seorang figur  masyarakat yang dianut ribuan umat insan pertelevisian, maka yang  terjadi kritik sana sini yang mendiskreditkan seorang Aa Gym. Ketika itu  terjadi pada orang lain tidak seheboh itu pembicaraan media massa atau  publik. Seharusnya media harus benar-benar jernih dalam memberitakan  itu.
Yang terjadi kemudian pemerintah latah ikut-ikutan menanggapi isu  poligami itu. UU no. 45 tahun 1990 dan PP No 10 tahun 1983 segera  direvisi sebagai upaya follow up pemerintah untuk mengatur poligami bagi  PNS. Terlalu tergesa-gesa, pemerintah ikut campur tangan  mengatur hal  ini, sedangkan kasus perselingkuhan pejabat belum ada tindakan yang  pasti untuk menanganinya. Sebuah kasus yang dilematis sekali, ketika  produk hukum islam  yang legal  diributkan dan prostitusi didiamkan.
Memang media kadang-kadang meninggalkan etika moril dalam pemberitaan  kasus terhadap masyarakat. Sehingga yang terjadi adalah discomunication   yang berakibat panjang pada sebuah tragedi itu sendiri. Ini berakibat  pada daya respon masyarakat dalam mencerna sebuah berita yang disajikan  oleh media secara bertubi-tubi. Sebuah peristiwa beredarnya video mesum  harus disandingkan pada sebuah poligami yang dalam agama Islam itu  sebuah produk hukum yang benar-benar legal (sah secara syar'i). 
Apa yang terjadi kemudian adalah kejumudan berpikir masyarakat.  Sebagian dari mereka menganggap poligami itu tidak mengindahkan hak-hak  kaum wanita, karena secara emosional kaum wanita berceloteh, "Wanita  mana sih yang mau dimadu?". "Kenapa memposisikan Al-Quran sebagai dalil  untuk keabsahan dirinya, padahal kriteria yang tercantum di dalamnya  sangat ketat, dan hampir-hampir tidak memenuhi syarat untuk kaum  lelaki", kata Prof. Dr. Siti Musda Mulia dalam wawancaranya di tabloid  Nyata.                Padahal sebuah pendapat yang emosional sangat  tidak layak untuk disandingkan dalam sebuah produk hukum Islam seperti  poligami itu sendiri. Ada paradigma parsial (manhaj mukhottiah)  yang selalu digunakan media massa untuk memberitakan peristiwa lebih  dari aslinya, sehingga bisa memperpanjang peristiwa itu sebagai wacana  yang benar-benar fit to read (layak baca), kalau perlu menjadi tema yang menasional.
Namun masyarakat tidak perlu khawatir untuk isu semacam ini, akan  berjalan dan hanyut begitu saja. Artinya jika media sudah kehabisan  bahan akan mencari topik lain yang levelnya bisa membooming (menyebar)  secara nasional.
Masyarakat harus punya kemampuan menyaring sebuah informasi, jika  tidak maka hari-harinya akan selalu disibukkan dengan pemberitaan  bombastis (omong kosong) yang mengganggu akitifitas pembaca sendiri.  Berapa waktu yang hilang untuk memikirkan sebuah berita yang mutunya  hanya sebuah garbage  (sampah), karena di satu-sisi mendistorsi  (merusak) syariat Islam.
Padahal Islam itu kan Ya’lu wala yu’la ‘alaihi (Islam itu agama yang tinggi dan tiada yang menandingi). Poligami sebuah hot-issues yang datar-datar saja        
Prof. Dr. Siti Musda Mulia sebagai sekjen ICRP berkomentar lain  tentang poligami, "UU pernikahan kita umurnya sudah 30 tahun lebih, dan  semakin lama semakin tidak mengakomodir hak-hak wanita itu sendiri".  Sebuah kekhawatiran yang manusiawi, namun pendapat seorang profesor  seharusnya tidak seringan itu. UU Perkawinan yang ada dalam pembahasan  Islam sendiri adalah sebuah kajian-kajian baku yang sifatnya untouchable (tidak bisa diganggu gugat). Ketika pembahasan ini muncul, sebetulnya jauh-jauh hari sudah ada event  Poligami Award (penghargaan buat pelaku poligami) yang memposisikan  poligami pada tempatnya. Tidak dengan mempermasalahkan Hukum Islam yang  patriarki (sistem nasab diambil dari bapak) yang dianut oleh UU  Perkawinan negara kita. Kalau dilihat secara jernih poligami hadir  sebagai solusi yang efektif, bagi pemerataan ekonomi, status sosial  masyarakat, dan penjagaan harkat-martabat kaum wanita sendiri.
Dalam sistem perundang-perundangan yang kita anut (UU Perkawinan no 1  tahun 1974) secara tegas menganut asas monogami, artinya kecil  kemungkinan bagi seorang suami untuk berpoligami tanpa sebuah alasan  mendasar yang bisa dianggap kredibel. Alasan yang kredibel adalah alasan  yang berlandaskan  hukum dan agama yang bersangkutan untuk beristri  lebih dari satu. Ketika poligami dikendaki oleh yang bersangkutan pun  harus seizin pengadilan. Jika selama ini yang terjadi tidak sejalan  dengan apa yang diundang-undangkan, kenapa harus merubah UU yang ada?  Seberapa banyak UU akan dibuat, namun kemudian untuk dilanggar? Berapa  bea Rapat perkomisi yang membahas untuk menggolkan UU tersebut? apakah  membuat UU baru hanya untuk sebuah masalah temporer yang kasuistik  (sementara). Kalau dipikir-pikir terlalu jauh untuk membatasi poligami  dalam sebuah UU, kenapa tidak berfikir untuk pembahasan sanksi yang  mengikat bagi semua kalangan? itupun kalau mungkin dilakukan.
Poligami dalam UUP no.1 th.1974
Banyak kalangan wanita terutama dengan munculnya isu-isu poligami  yang telah membooming kemana-mana. Hal ini sebuah tanda-tanda kecemasan  pada kaum wanita, karena berita yang sampai kaum wanita terjadi banyak  penyimpangan-penyimpangan yang menjauhkan dari kebenaran itu sendiri.   Untuk kembali ke akar permasalahan, maka kita coba kembali mengkaji  beberapa poin pasal yang membahas langsung poligami, antara lain: 
A. Pasal 4 ayat 1 UUP yang bertalian dengan pasal 3 ayat 2, adanya  kewajiban mengajukan  permohonan di Pengadilan daerahnya. Pengadilan  akan memberi izin jika:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri,
 - Istri menderita cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
 - istri tidak dapat melahirkan keturunan.
 
B. Berkaitan dengan tiga point diatas ada beberapa pasal yang  merupakan prasyarat terwujudnya poligami. Pasal 5 ayat 1 UUP berisi:
- Adanya persetujuan dari istri/istri-istri,
 - Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka,
 - Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
 
  Sedangkan pada pasal 2 ayat yang sama ditegaskan bahwa persetujuan  itu tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri-istri tidak  mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam  perjanjian.  Terlihat jelas bahwa aturan poligami itu sangat mengikat  seorang suami untuk bertanggungjawab pada semua kerabatnya tanpa  terkecuali. UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 memang masih up to date  (peka zaman) dan tidak bercacat hukum. Hanya saja mampukah kaum wanita  meminimalisir emosinya, ketika sang suami menuntut dirinya untuk  berpoligami, mampukah mereka?







0 comments:
Post a Comment