Syekh Ali- Gom'ah

Habib Mundzir Al-Musawa

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Syekh Abdul Halim Mahmud

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, September 21, 2008

Khariqul `Adah


NU (Nahdlatul Ulama) adalah gudang kiai berperilaku eksentrik. Istilah populer untuk eksentrisitas di kalangan pesantren adalah khariqul `adah, sebuah kata dari bahasa Arab yang berarti "di luar kebiasaan". K.H. Abdurrahman Wahid, bekas Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, memakai istilah khariqul `adah untuk dua pengertian: yang substantif dan yang permukaan (kulit). Gus Dur, begitu panggilan akrab kiai yang kini menjadi mantan presiden itu, pernah memakai istilah tadi untuk menggambarkan kenyentrikan almarhum Gus Mik (Kiai Hamim Jazuli), seorang ulama masyhur dari Pesantren Alfalah Ploso, Kediri.

Gus Mik dianggap oleh banyak orang memiliki kemampuan supranatural. Banyak kesaktian ditempelkan pada reputasinya. Banyak orang yang rela antre berlama-lama untuk bisa bertemu dengan Gus Mik dengan berbagai pamrih: ingin banyak rezeki, mau naik pangkat, menyembuhkan penyakit, sampai hajat untuk memperoleh nama untuk bayi yang baru lahir. Semuanya—dipercaya oleh para pengagumnya—bisa dibantu oleh Gus Mik. Kemampuan supranatural itu, dalam istilah eskatologi pesantren, dinamakan khariqul `adah. Kalangan awam memandang kemampuan semacam itu sebagai suatu keanehan.

Namun, di mata Gus Dur, kenyentrikan Gus Mik terletak pada kearifannya yang telah menembus batasan agama. Melalui transendensi keimanannya, ia tidak lagi melihat kesalahan pada keyakinan orang beragama atau berkepercayaan lain. Contohnya, Gus Mik bersikap membimbing kepada Ayu Wedhayanti, seorang Hindu yang kini telah berpindah hati ke Islam, seperti yang dilakukannya terhadap Machica Mochtar, penyanyi asal Ujungpandang yang muslim.

Kenyentrikan lain kiai yang memiliki citra rasa terhadap berbagai macam kopi itu telah menembus rambu-rambu baik dan buruk di mata kebanyakan manusia. Gus Mik, karena itu, tidak segan melepas jubah kekiaiannya dan bercengkerama dengan para penikmat hiburan malam di diskotek, klub malam, bar, dan coffee shop. Ibarat kata, di mata Gus Mik, seorang bajingan dan seorang suci adalah sama: manusia. Dan manusia memiliki potensi untuk memperbaiki diri.

"Kerinduannya kepada realisasi potensi kebaikan pada diri manusia inilah yang menurut saya menjadikan Gus Mik supranatural," kata Gus Dur dalam buku Gus Dur Menjawab Tantangan Zaman, terbitan Kompas, Jakarta, 1999.

Kiai-kiai yang nyentrik dengan dua pengertian itu memang bertebaran di NU, sebuah organisasi keagamaan yang berbasis kultural di pesantren tradisional. Tapi, tak pelak, cerita yang harum beredar di masyarakat adalah kenyentrikan yang bersifat permukaan. Bisa jadi karena hal permukaan itu yang memang mudah dilihat dan karenanya menjadi cerita eksotis bagi orang kebanyakan. Cerita-cerita supranatural itu banyak beredar dari mulut ke mulut, sementara kearifan para kiai nyentrik kurang memperoleh catatan yang memadai. Bisa jadi karena tradisi penulisan sejarah kurang memberikan pendekatan dari segi substansi. Atau, bisa jadi karena para kiai nyentrik itu cenderung hidup di luar pagar resmi organisasi.

Para kiai yang mengundang pesona eksotisme itu hadir sejak awal sejarah NU hingga kini. K.H. Muhammad Kholil (1835-1925), pendiri pesantren yang kini bernama Syaikhona I di Desa Kademangan, Bangkalan, misalnya. Kiai yang dianggap moyang para kiai supanatural itu memiliki kisah mistis-simbolis berkaitan dengan sejarah pembentukan NU. Guru para kiai besar di Jawa itulah yang menjadi penginspirasi pembentukan NU lewat isyarat penyerahan sebatang tongkat pada 1924, dan sebuah tasbih setahun kemudian, yang dikirim lewat Kiai As'ad Syamsul Arifin, pendiri Pesantren Asembagus, Situbondo, kepada K.H. Hasyim Asy'ari, murid Kiai Kholil yang kemudian terkenal sebagai pendiri NU.

Kenyentrikan Kiai Kholil tampak sejak muda. Ketika belajar di Pesantren Langitan. Tuban, Kholil pernah membuat terpana Kiai Muhammad Noer, gurunya. Suatu hari Kholil ikut salat berjamaah yang diimami Kiai Noer. Di tengah salat, Kholil tertawa terbahak-bahak—sesuatu yang bisa membatalkan salat. Usai salat, Kiai Noer menanyakan alasan Kholil tertawa. "Maaf, kiai. Ketika salat tadi, saya melihat kiai sedang mengaduk-aduk nasi di bakul. Karena itu saya tertawa," kata Kholil seperti ditulis dalam buku Biografi dan Karomah Kiai Kholil Bangkalan terbitan Pustaka Ciganjur, 1999. Santri muda itu tampaknya bisa membaca pikiran orang. Seperti yang diakui Kiai Noer, memang ketika salat, dia yang sedang lapar membayangkan terus nasi di benaknya.

K.H. Abdul Wahab Abdullah (1888-1971), murid Kiai Kholil yang kemudian menjadi pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang, juga ketularan kelebihan gurunya. Salah seorang pendiri NU itu mempunyai andil dalam pencarian nama NU. Caranya pun lewat jalan spiritual. Konon, sebelum penentuan pilihan dari sejumlah nama, Kiai Wahab melakukan istikharah, salat untuk menentukan pilihan. Dalam suatu penglihatan mata batin, Kiai Wahab bertemu Sunan Ampel, seorang wali Jawa Timur, yang memberi blangkon dan sapu bulu ayam bergagang panjang. Tak jelas apa arti simbol itu. Tapi, menurut Hasib Wahab, anaknya, dalam penglihatan itulah Kiai Wahab memperoleh keputusan untuk menamakan organisasi kaum ulama tradisional itu dengan nama NU.

Kiai Wahab, yang sewaktu muda dijuluki macan oleh Kiai Kholil, Bangkalan, itu dalam sejarahnya selain jago berdebat politik juga dikenal sebagai pendekar silat. Ada cerita, suatu waktu di Desa Tambakberas berlangsung pertandingan pencak silat. Semua jago silat di Jawa Timur konon turun gelanggang. Salah satu jagoannya, Djojo Rebo, dikenal kebal. Ketika hampir semua pendekar takluk, Djojo Rebo melihat kehadiran Kiai Wahab hanya sebagai penonton. Padahal, Gus Dul, begitu panggilan akrab Kiai Wahab, dikenal jago silat.

Djojo Rebo pun menantangnya. "Gus Dul, ayo turun kemari. Keluarkan seluruh ajimat yang kamu bawa dari Mekkah. Ayo kita bertarung," kata Djojo Rebo. Kiai Wahab, yang baru saja pulang dari Tanah Suci untuk belajar agama, itu tak bisa menolak tantangan. Akhirnya Kiai Wahab turun juga. Tapi jurusnya unik: ia hanya berdiri mematung dengan sorot mata memandang ke mata Djojo Rebo. Tiba-tiba tubuh Djojo Rebo terempas dan melayang bagai kapas hingga jatuh ke tanah.

Kelebihan Gus Mik terasa lebih hidup karena masih banyak kesaksian segar yang bisa dikumpulkan, termasuk dari anak-anaknya. Gus Sabut Pranoto Projo menyimpan kisah tentang kemampuan pecah diri (bi-lokasi) Gus Mik. Ketika Kiai Romly, pendiri Pesantren Darul Ulum, Jombang, dan seorang mursyid tarekat meninggal dunia, keluarga Kiai Akhmad Jazuli, ayah Gus Mik, datang melayat. Menjelang berangkat, Gus Mik kecil menolak ajakan untuk melayat ke Jombang dan memilih tinggal di rumah. Tapi, setelah keluarga itu tiba di rumah duka, Gus Mik telah berada di tempat yang sama. Lebih mengherankan lagi, keluarga Kiai Romly menyaksikan bahwa Gus Mik telah menemani almarhum sejak seminggu sebelum Kiai Romly wafat.

Kisah-kisah supranatural bertebaran di kalangan NU. Salah satu faktornya karena sebagian kiai nahdliyin menjalankan tradisi sufisme. Di lingkungan NU, seperti kata doktor sejarah dan kebudayan Andree Fellard dalam buku NU vis-à-vis Negara, para kiai yang tergabung dalam tarekat memiliki pengaruh yang paling kokoh terhadap masyarakat luas di pesantren ataupun di luar wilayah desanya. Pengaruh yang mereka dapatkan datang dari kepercayaan masyarakat terhadap bakat supranatural yang dimiliki kiai: sebagai penyembuh, pengusir makhluk halus, dan sebagai penasihat rumah tangga. Ketersohoran kiai tarekat telah turut mengimbangi memudarnya otoritas ulama dan ahli fikih yang pernah berpindah ke tangan birokrasi.

Kiai dengan kelebihan supranatural masih hadir hingga masa menjelang pergantian abad ke-21. Lora Kholil, 31 tahun, adalah kiai muda yang memiliki percikan khoriqul `adah di masa kini. Pamor lulusan Universitas Ainus Syams, Saudi Arabia, itu amat kondang di Situbondo. Bukan hanya karena pengaruh nama besar K.H. As'ad Syamsul `Arifin, ayahanda dan pendiri Pesantren Asembagus, Situbondo, tetapi dia sendiri memiliki aura kewibawaan. Berbadan ceking, selalu bersarung dengan surban putih, pengasuh Pesantren Walisongo, Situbondo, itu berhasil "menaklukkan" ribuan anak jalanan (preman) pada awal 1990-an.

Dalam konteks masyarakat tradisional feodal, ketertarikan kepada dunia supranatural adalah keniscayaan. Penjelasan supranatural yang cenderung irasional dan dogmatis, untuk banyak hal, juga sering dikemukakan sebagai cara pemitosan seorang tokoh untuk memperoleh legitimasi kepemimpinan. Tapi, seiring perubahan zaman, akankah tradisi itu bertahan? Dan daftar pertanyaan bisa lebih panjang serta penting: bisakah penjelasan "yang tidak jelas" memuaskan daya kritis masyarakat yang menuntut demokratisasi, transparansi, egalitarianisme, dan meritokrasi?

Pertanyaan-pertanyaan seperti menjadi lebih penting lagi mengingat gelombang perubahan akibat modernisasi telah menyapa kalangan NU. Kini, dari kalangan nahdliyin, generasi baru muncul. Gus Dur adalah tipe pembaru, yang disebut oleh ahli masalah Islam Indonesia, Greg Barton, digolongkan sebagai cendekiawan muslim neomodernis.

Dari sayap lain, K.H. Ahmad Mustofa Bisri dari Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, memilih untuk tidak memiliki kelebihan supranatural dengan menekankan tasawuf pada aspek akhlak dan pengolahan interioritas batin. Toh, kekuatan supranatural bisa dipelajari setiap orang (lihat juga: Mukjizat, Mata Ketiga, dan Sains). Juga K.H. Habib Luthfi, seorang ulama tasawuf yang lebih suka menebarkan pesona musikal. Menyikapi kenyentrikan kiai, Gus Dur memberikan contoh terbaik: mengagumi yang substansi daripada yang permukaan.

Ketika Pengikut Tarekat Bicara Korupsi


TEMPO, Puluhan ulama, ratusan santri, dan ribuan kaum muslimin—tua, muda, anak-anak, lelaki dan perempuan—tumplek di Masjid Agung Pekalongan. Mereka bahkan meluber sampai ke halaman dan jalan-jalan di sekitarnya. Malam itu, Sabtu dua pekan lalu, begitu salat isya usai, gumam zikir bergema di seantero masjid.

Istigasah akbar yang digelar menyambut Muktamar X Jam'iyah Ahli Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyah (himpunan penganut tarekat "resmi" Nahdlatul Ulama), minggu terakhir Maret lalu, itu diawali dengan membaca manakib alias biografi Rasulullah SAW, Simthud Durar (Untaian Mutiara). Suasana menjadi lebih religius begitu KH Muhaiminan Gunardo, pimpinan Pesantren Bambu Runcing, Temanggung, tampil membaca Al-Fatihah.

Sedu-sedan dan isak tangis mengharap rahmat dan berkah Allah SWT terdengar ketika Habib Luthfi bin Yahya memandu istigasah dengan serangkaian doa dan wirid. Dan ketika pimpinan tertinggi Jam'iyah itu membaca lailaha ilallah dengan suara baritonnya, jantung Kota Pekalongan itu menjelma menjadi majelis zikir sufi seperti di abad pertengahan di Irak, Iran, atau Asia Tengah. Sejumlah besar jemaah tampak mengalami ekstase. Mereka menggoyang-goyangkan kepala ke kiri dan kanan mengikuti irama zikir, kian lama kian cepat. Sembari melafalkan kalimat tauhid itu, mereka tersedu sesenggukan. Air mata meleleh.

Setelah estafet doa dibawakan oleh 12 kiai sepuh, jemaah kembali histeris manakala Habib Husein Alatas dari Cirebon memanjatkan doa dalam bahasa Jawa, dengan suara keras bernada tinggi dan kalimat yang dipanjang-panjangkan: "Ya Allah, kiranya segeralah turunkan rahmat-Mu kepada bangsa ini yang senantiasa dilanda musibah, bencana, dan pertikaian tiada henti.…"

Berdiri pada 1957 di Pesantren Tegalrejo, Magelang, federasi 45 aliran tarekat ini semula bernama Jam'iyah Ahli Thariqah al-Mu'tabarah. Pada 1970-an, ada upaya menyeret Jam'iyah ke bawah payung Golkar dan mengubah namanya menjadi Jam'iyah Ahli Thariqah al-Mu'tabarah al-Indonesiyah. Untuk menghimpun kembali penganut tarekat yang berafiliasi kepada NU, dalam muktamar V tahun 1984 di Pesantren Nurul Qadim, Probolinggo, diputuskan menyempurnakan nama federasi tersebut menjadi Jam'iyah Ahli Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyah.

Muktamar selama sepekan ini makan biaya tak kurang dari Rp 7 miliar, sebagian besar terdiri dari sumbangan in natura bermacam bahan makanan, jasa pemondokan, dan alat transportasi.

Berbeda dengan muktamar sebelumnya, kali ini yang dibahas tak semata masalah tarekat—metode kesufian untuk membersihkan rohani sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah. "Sesuai dengan temanya—reaktualisasi ajaran tarekat untuk membantu menyelesaikan persoalan bangsa dan negara—muktamar ingin kembali mendekatkan ulama dan umara alias birokrat," kata KH Chabib Thoha, ketua panitia muktamar, penganut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

Meski begitu, Habib Luthfi—terpilih kembali sebagai rais am idarah aliyah (ketua umum dewan tertinggi)—menolak kesan bahwa muktamar itu bernuansa politik. "Begitu thoriqoh dibawa ke pentas politik, ya, bubar," kata ulama karismatik yang gemar menikmati musik klasik dan mahir memainkan organ itu. Ia adalah mursyid beberapa tarekat seperti Syadziliyah, Alawiyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Sathariyah, Tijaniyah, dan Ghazaliyah.

Menurut dia, tarekat membimbing para murid (pengikut) untuk senantiasa mensucikan rohani agar lebih lempang dalam mendekatkan diri kepada Allah. "Kalau kaum tarekat ingin membantu menyelesaikan masalah bangsa dan negara, hal itu semata-mata melaksanakan ujaran para ulama, hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman)," katanya sembari menyeruput kopi Loewak dan menyedot rokok kretek.

Selama ini, tarekat memang dipersepsikan sebagai amalan ibadah para kiai, setidaknya orang-orang tua, yang menjauhi keduniawian. Maka, masih relevankah metode kesufian ini di zaman modern seperti sekarang, ketika berbagai aspek kehidupan cenderung materialistis dan orang semakin individualistis? "Justru orang modern sekarang ini, yang jiwanya kebanyakan kering, yang mengalami frustrasi dan menderita depresi, sesungguhnya sangat membutuhkan tarekat," ujar Habib Luthfi, yang memimpin sekitar 30 juta penganut tarekat itu.

Menurut dia, upaya membersihkan rohani itu mulai dari wudu—yang berimbas pada kesucian pancaindra dan segenap anggota tubuh—sampai dengan menunaikan berbagai kewajiban syariat. Termasuk salat wajib dan sunah, terutama tahajud, serta bermacam-macam doa, zikir, dan wirid. Juga ibadah muamalah (kemasyarakatan) serta kualitas perilaku luhur: santun, tak mudah marah, suka menolong dan memaafkan, tawadu alias rendah hati.

"Jika jiwa-raga sudah suci, diharapkan perilaku seorang mukmin bisa lebih baik. Dengan menyandang akhlaqul karimah alias budi pekerti luhur, seorang mukmin diharapkan tampil sebagai pribadi berkualitas yang bermanfaat bagi masyarakat, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW. Termasuk cinta tanah air, yang mewajibkannya untuk tidak merusak atau menelantarkan negara dan bangsa," ia menambahkan.

Bisa dimaklumi jika dalam kata sambutannya pada pembukaan muktamar, Minggu pagi, di halaman Pendopo Kabupaten Pekalongan di Kajen—25 kilometer sebelah selatan Pekalongan—secara khusus ia menekankan pentingnya menjalin hubungan antara ulama tarekat sebagai suri tauladan dan umara. Ia juga tak lupa mendoakan pemerintah agar mampu meningkatkan martabat bangsa.

Walhasil, ada kesan kuat muktamar kali ini bermaksud mengingatkan pentingnya kesalehan sosial di samping tetap memelihara kesalehan personal. Maka, gayung pun bersambut. Dalam kata sambutannya sebelum membuka muktamar dengan menabuh beduk, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak para ulama tarekat—yang ia sebut sebagai "insan kamil"—untuk membantu memberantas korupsi dan kemaksiatan lainnya.

Mendengar pernyataan itu, malam harinya, dalam dialog dengan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh di Pendopo (lama) Kabupaten Pekalongan, beberapa muktamirin mendesak agar para koruptor dihukum mati. Desakan itu tak ayal bikin Jaksa Agung terperangah. "Semula saya mengira kaum tarekat terdiri dari orang-orang tua, atau para santri sarungan, yang setiap malam menghitung tasbih saja. Kalau semangat kaum tarekat seperti ini, saya yakin para koruptor pada mules perutnya," kata Jaksa Agung, disambut tawa dan keplok gemuruh.

Sikap tujuh ribuan muktamirin itu memang mengejutkan. Bukan karena mereka semuanya lelaki, hampir sepertiga di antaranya kiai sepuh, sebagian besar mengenakan sarung, sandal, kopiah hitam, atau peci haji warna-warni. Mereka ternyata mengikuti perkembangan mutakhir dan cukup kritis. Dalam sidang komisi rekomendasi, misalnya, antara lain diputuskan agar pimpinan nasional, politisi dan partai politik, tidak terlalu banyak bicara dan lebih mengedepankan kepentingan umum.

Itu tak berarti mereka sama sekali melupakan tarekat. Dalam komisi Diniyah Thariqiyah (agama dan tarekat), misalnya, antara lain diputuskan kriteria mursyid yang sudah harus mencapai tingkat kesufian cukup tinggi. Setelah berdebat alot dengan merujuk sejumlah kitab kuning, para kiai juga memutuskan haramnya tayangan alam gaib di televisi yang cenderung mendangkalkan akidah. Selain itu, minta nasihat kepada orang yang tak menjalankan salat juga haram, kecuali mengenai masalah umum yang tak terlalu penting.

Nabi Tak Pernah Mengislamkan dengan Pedang

BILA jadwal pengajian tiba, seperti Reboan atau Jumat Kliwonan, ribuan orang datang ke Kanzus Shalawat (Gedung Shalawat), pusat kegiatan Tarekat Syadziliah, di Kampung Noyontaan, Pekalongan, Jawa Tengah, persis di tepi jalan raya lama Jakarta-Semarang. Banyak yang percaya Habib Luthfi bisa menjadi wasilah (penghubung) doa manusia kepada Tuhan.

Karisma Habib Luthfi pulalah yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri datang ke Kampung Noyontaan pada acara Maulid Nabi lalu. Perayaan Maulid merupakan puncak acara Tarekat Syadziliah karena mencakup 68 kegiatan di berbagai tempat di seantero Pekalongan, yang berlangsung selama hampir setengah tahun.

Habib yang memiliki lima cucu ini juga dikenal terbuka dan inklusif sehingga diterima berbagai kalangan. Sampai sekarang, dia masih mengajar santri di rumahnya, di belakang Kanzus Shalawat. Rabu pekan lalu, Arif A. Kuswardono dan Sohirin dari Tempo menemui Habib Luthfi seusai salat tarawih di rumah tersebut.

Wawancara sempat terputus oleh kegiatannya mengajarkan kitab selama Ramadan. Ada puluhan orang yang mengikuti irsyadat dan taklimat yang digelar tiap malam selepas tarawih selama satu jam. Ditambah tamu yang juga berlipat jumlahnya, Ramadan adalah bulan yang sibuk buat sang Habib. ”Saya hanya tidur tiga-empat jam sehari,” katanya.

Sekitar pukul 23.00, percakapan dilanjutkan di studio musik miliknya yang berisi delapan organ bersusun dan dilengkapi tata suara elektronik. Habib yang dikenal pandai memainkan sejumlah alat musik ini sudah melahirkan beberapa komposisi. ”Umumnya instrumen,” katanya seraya menggelitik bilah organ. ”Kalau lagu dengan syair, baru dua.”

Tak lama kemudian, melantunlah lagu Cinta Tanah Air, ciptaannya. Liriknya memuji cinta tanah air yang menjadi cerminan iman seseorang. Musiknya campuran Melayu, dangdut, tarling, dan irama padang pasir. ”Supaya anak muda suka,” katanya. Dengan suara kalem, terkadang diselingi humor, Habib Luthfi menjawab semua pertanyaan Tempo.

Saat ini ulama menjadi rebutan para politikus. Apa sikap Anda?

Saya terima semuanya. Sebab, dalam partai-partai terdapat aset bangsa. Nah, aset itu wajib kita junjung tinggi dan kita hormati. Tentang pilihan, itu rahasia masing-masing.

Banyakkah pejabat dan politikus yang mengunjungi Anda?

Banyak. (Orang dekatnya menyebut nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir, Ketua Partai Bulan Bintang M.S. Kaban, dan sejumlah jenderal polisi.)

Anda setuju dengan partai yang menggunakan asas agama?

Di Indonesia ini dasar pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita kembali saja ke situ dulu, kemudian diwarnai oleh agama masing-masing. Saya secara pribadi menginginkan penganut agama, agama apa pun, menaati ajaran agama untuk bekal kehidupan sehari-hari, sehingga kita bisa ikut membangun bangsa ini. Sebab, kita sama sekali tidak ikut andil mendirikan bangsa ini, kita tidak ikut berjuang zaman dulu. Kita hanya bisa andil menjaga kemerdekaan ini. Caranya membekali mental kita dengan agama yang baik, sehingga kita bisa menjawab tantangan umat.

Ada kalangan Islam yang berpendapat syariah Islam wajib diakomodasi karena selama ini kita justru memakai hukum Belanda yang tidak mewadahi aspirasi penduduk yang mayoritas muslim.

Negara kita negara kesatuan yang terdiri atas berbagai agama, kepercayaan, dan suku. Sangat heterogen. Saya kira tidak semudah itu membungkus sesuatu. Kita sudah mempunyai Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang menjamin kebebasan beragama. Itu saja yang kita amalkan dengan didukung keyakinan agama masing-masing. Mari kita membangun bangsa ini ke depan.

Menurut Anda, syariat Islam sudah cukup diakomodasi?

Syariat Islam sudah banyak dijalankan dalam undang-undang pemerintah kita. Lihatlah: kantor agama ada, pengadilan agama ada, pernikahan dilindungi, Maulid Nabi Muhammad juga diperingati. Semuanya itu tidak bertentangan dengan Islam. Nah, inilah yang harus kita pelihara.

Muslim Indonesia kerap dianggap muslim kelas dua karena banyak mistiknya dan tidak radikal. Seharusnya kita seperti muslim Timur Tengah yang militan?

Apakah itu ajaran Nabi? Apakah Nabi pernah mengislamkan seseorang dengan pedang? Tidak pernah! Saya baca hadis, tidak ada yang menyebutkan itu. Bahkan Nabi menjaga hak-hak ekonomi kaum Yahudi. Kalau ada yang bilang begitu, berarti dia tidak kenal Indonesia. Di Indonesia, yang mau dilawan siapa? Apakah kita harus mengangkat senjata kepada orang yang tidak melawan kita? Orang tidak salah kita tempeleng; apakah itu ajaran Islam? Militan itu ideologinya yang kuat. Rasa kebangsaannya yang kuat.

Konteks Indonesia berbeda dengan Timur Tengah?

Apa yang dihadapi di Indonesia berbeda dengan di Timur Tengah. Mestinya Anda bertanya kepada Suudi (Arab Saudi): mengapa orang-orang Suudi yang konon radikalnya luar biasa itu kok tidak pernah mengirimkan pasukannya untuk membela Palestina?

Tentang Ahmadiyah, apakah sikap pemerintah sudah tepat?

Saya kira penerbitan surat keputusan bersama sudah bijaksana. Sejahat apa pun mereka, (Ahmadiyah) adalah bangsa kita. Ahmadiyah kan masih bertuhan? Kalau PKI, kan, tidak bertuhan? Lebih jahat mana antara bertuhan dan yang tidak bertuhan? Mengapa PKI masih kita wong-kan, kok, Ahmadiyah tidak?

Kesalehan individual di Indonesia terus meningkat. Kuota haji selalu terlampaui, pengajian ramai, tayangan agama begitu banyak, tapi kenapa korupsi meruyak dan perbaikan di masyarakat tetap lambat?

Masyarakat awam itu sebenarnya mencari tuntunan. Mereka mencari figur pemimpin yang bisa membimbing rohaninya, sehingga apa yang ada di dalam ajaran agama itu, di samping diyakini, dijadikan keperluan untuk kehidupan sehari-hari.

Apakah tuntunan Islam belum cukup?

Ajaran Islam sangat kompleks. Selain menanamkan akidah pada umatnya, seperti percaya kepada Allah, Nabi, malaikat, dan seterusnya, Islam mengatur cara makan, bergaul, dan sebagainya. Misalnya pakaian, Islam mengajarkan bagaimana seseorang terjaga kehormatannya karena pakaian itu. Jadi, Islam tidak hanya mengatur kesehatan fisik, tapi juga kesehatan rohani atau kesehatan batin. Seperti lagu Indonesia Raya, ”bangunlah jiwanya” lebih dulu, baru ”bangunlah badannya”.

Jadi, kalau ada yang melenceng di masyarakat, jiwanya belum beres?

Saya kira tidak perlu sejauh itu, karena hati orang kita tak tahu. Bangunan jiwa ini sudah diatur. Islam setelah mengatur arkanul iman (rukun Iman), lalu arkanul Islam (rukun Islam), selanjutnya baru ihsan. Dari ihsan kita diajari ”bersembah sujudlah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya”. Kalau tidak mampu merasa melihat Tuhan, kita harus merasa menjadi bagian yang dilihat dan didengar oleh Tuhan.

Jadi, perubahan itu memang bertahap?

Pertama kali mungkin kita belum bisa merasakan dampaknya. Tapi, kalau kita terus-menerus merasa menjadi bagian yang dilihat dan didengar Tuhan, akan timbul perubahan. Sebagai contoh, seorang pesilat, kalau sering latihan, pasti akan mempunyai gerak refleks. Sehingga, kalau dia terpeleset, paling tidak 85 persen dia akan selamat dan tidak cedera. Sebaliknya, bagi yang tidak pernah latihan, jika dia terpeleset, akan lebih banyak cederanya ketimbang selamat.

Apa perubahan terbesar bila sudah merasa dekat dengan Tuhan?

Kalau kita sering merasa menjadi bagian yang dilihat Tuhan, akan timbul reaksi. Di antaranya rasa malu. Malu karena perbuatan kita selalu dilihat dan didengar Allah. Malu adalah sebagian tanda iman. Malu akan menambahkan kesempurnaan dalam beriman. Dari malu kepada Allah, malu kepada Nabi, kepada ulama, pahlawan, orang tua, guru, hingga terakhir malu kepada sesama.

Mungkinkah seseorang yang sudah dekat jiwanya dan malu kepada Tuhan malah terus didera kesulitan?

Kesulitan yang diberikan Allah pada hakikatnya adalah untuk pembekalan. Jika mau menengok ke belakang, akan timbul perubahan. Kalau kemarin kita berdagang terus merugi, kita harus melihat apakah servis atau mutu kita sudah bagus atau belum. Jadi, majunya ke depan karena kita mau menengok ke belakang.

Bagaimana rasa malu bisa memperbaiki kualitas kehidupan sosial?

Taruhlah seseorang tidak puasa karena memang pekerjaannya sangat berat. Misalnya pekerja fisik. Kalau tidak bekerja, hari itu mereka tidak bisa makan. Tapi, jika sadar bahwa dirinya menjadi bagian yang akan dilihat Allah, dia tidak akan seenaknya berjalan sambil merokok di bulan puasa. Ini contoh sederhana. Jika rasa malu sudah hidup, perlahan tapi pasti akan mengubah perilaku kita.

Apa rasa malu bisa mendorong disiplin?

Ya, mestinya, setelah muncul rasa malu, meningkat menjadi takut kepada Tuhan. Kalau takut, kita akan bertakwa dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Di sinilah rasa takut menjelma menjadi takwa.

Apa peran tarekat dalam memunculkan rasa malu kepada Tuhan?

Kita membangun jiwa dengan menyebut nama Allah dalam berzikir, sambil merasa dilihat dan didengar oleh Allah. Secara tidak langsung kita selalu diingatkan kepada Allah. Lalu, saat kita membaca selawat, kita diingatkan kepada Muhammad. Apakah tidak malu kalau tidak bisa meniru keteladanan Muhammad? Secara umum, kita juga harus menghormati orang tua dan guru. Rasanya malu kalau sudah dibesarkan orang tua dan diajari oleh guru tapi tidak menuruti nasihatnya.

Malu juga dituding menjadi biang kemunduran. Seperti apakah rasa malu yang bisa menghambat kemajuan?

Malu itu ibarat cangkir. Kalau diisi susu, kan, tidak ada yang salah? Kalau diisi minuman keras, baru dosa. Kalau malu dianggap penyebab kemunduran, apa salah ungkapan al haya’ minal iman (malu sebagian dari iman)?

Jadi, menumpuknya masalah bangsa salah satunya karena kita krisis malu?

Saya tidak mau mengatakan bangsa ini krisis akhlak atau krisis malu…. Tapi inilah di antara kelemahan-kelemahan kita.

Bila syariah Islam sudah diterapkan tapi musibah terus mendera, apa yang salah?

Saya tidak mau mengungkap cacatnya salah satu wilayah atau keturunan karena seluruh Islam adalah bersaudara.

Mengapa muncul Islam yang radikal bila dasarnya adalah rasa malu?

Saya tidak mau terpengaruh dengan mereka (radikal). Saya punya konsep sendiri untuk mendidik santri, khususnya santri tarekat, sesuai dengan ajaran assalafu al-shalihin (ulama pendahulu) yang sudah membuatkan satu konsep yang luar biasa dalam memahami Al-Quran dan hadis. Kita juga belajar dari dinamika yang telah diajarkan oleh para imam mazhab seperti Syafii, Maliki, dan Hambali. Para imam mazhab itu sangat menguasai ilmu agama, tapi meski mempunyai perbedaan, mereka saling menghormati.

Para imam mazhab tak mengklaim pendapatnya sendiri yang paling benar.…

Dinamika antar-ulama ini indah. Ibarat musik, meski ada perbedaan alat musik dan aliran musik, musiknya bisa dinikmati. Ada harmoni. Masing-masing juga tidak bisa mengklaim paling benar karena jumlah nada atau not musik cuma 12. Antara satu dan yang lain pasti bersinggungan.

Bagaimana supaya kita tidak keliru arah menjadi radikal?

Harus ada transformasi dan pembekalan. Kalau tidak bisa, ya, ikuti yang baik, yang bisa dipercaya, tidak asal.

Bagaimana supaya puasa atau ibadah tidak sekadar ritual saja, tapi juga berpengaruh pada kehidupan sosial?

Kita ambil contoh yang ringan saja. Bagaimana kita merasakan lapar dan dahaga? Ternyata setetes air dan sebutir nasi sangat bermanfaat. Kita harus menghormati sang pencipta nasi dan setetes air. Secara proses, sebutir nasi itu melibatkan banyak orang, dari ditanam hingga tersaji. Secara sosial, kita harus menghormati orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan nasi. Itu baru sebutir nasi, belum lagi tentang air, lauk, dan sebagainya.

Ada contoh lain?

Soal wudu, misalnya. Tiap hari anggota tubuh lima kali dibasuh wudu. Masing-masing tiga kali. Berapa kali satu anggota badan dibasuh dalam sebulan? 450 kali. Setahun? 5.400 kali. Itu baru yang wajib saja. Pertanyaannya: sejauh mana bekasnya kita membasuh anggota tubuh sebanyak itu? Apa ”buah” wudu yang kita dapat? Mestinya mata kita bisa menutupi aib orang lain, mulut kita mengucapkan yang baik-baik, tangan kita juga tidak mengambil yang bukan hak. Karena berkah dari wudu, secara sosial kita juga harus lebih baik.

Bagaimana proses puasa ”membersihkan” tubuh?

Anda bayangkan perut kita seperti bejana yang tidak pernah dicuci, padahal digunakan untuk memasak aneka makanan selama sebelas bulan. Kira-kira bisa tidak pencernaan kita melakukan metabolisme tubuh dan menghasilkan darah yang baik kalau tidak dibersihkan? Padahal darah tadi akan memasok makanan ke otak. Obat cuci perut hanya terbatas, tidak bisa sampai ke dasar pencernaan tempat virus dan kotoran. Hanya puasa yang bisa menjangkaunya. Jadi, puasa juga berdampak pada pencerdasan kehidupan bangsa.