Sunday, September 21, 2008

Khariqul `Adah


NU (Nahdlatul Ulama) adalah gudang kiai berperilaku eksentrik. Istilah populer untuk eksentrisitas di kalangan pesantren adalah khariqul `adah, sebuah kata dari bahasa Arab yang berarti "di luar kebiasaan". K.H. Abdurrahman Wahid, bekas Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, memakai istilah khariqul `adah untuk dua pengertian: yang substantif dan yang permukaan (kulit). Gus Dur, begitu panggilan akrab kiai yang kini menjadi mantan presiden itu, pernah memakai istilah tadi untuk menggambarkan kenyentrikan almarhum Gus Mik (Kiai Hamim Jazuli), seorang ulama masyhur dari Pesantren Alfalah Ploso, Kediri.

Gus Mik dianggap oleh banyak orang memiliki kemampuan supranatural. Banyak kesaktian ditempelkan pada reputasinya. Banyak orang yang rela antre berlama-lama untuk bisa bertemu dengan Gus Mik dengan berbagai pamrih: ingin banyak rezeki, mau naik pangkat, menyembuhkan penyakit, sampai hajat untuk memperoleh nama untuk bayi yang baru lahir. Semuanya—dipercaya oleh para pengagumnya—bisa dibantu oleh Gus Mik. Kemampuan supranatural itu, dalam istilah eskatologi pesantren, dinamakan khariqul `adah. Kalangan awam memandang kemampuan semacam itu sebagai suatu keanehan.

Namun, di mata Gus Dur, kenyentrikan Gus Mik terletak pada kearifannya yang telah menembus batasan agama. Melalui transendensi keimanannya, ia tidak lagi melihat kesalahan pada keyakinan orang beragama atau berkepercayaan lain. Contohnya, Gus Mik bersikap membimbing kepada Ayu Wedhayanti, seorang Hindu yang kini telah berpindah hati ke Islam, seperti yang dilakukannya terhadap Machica Mochtar, penyanyi asal Ujungpandang yang muslim.

Kenyentrikan lain kiai yang memiliki citra rasa terhadap berbagai macam kopi itu telah menembus rambu-rambu baik dan buruk di mata kebanyakan manusia. Gus Mik, karena itu, tidak segan melepas jubah kekiaiannya dan bercengkerama dengan para penikmat hiburan malam di diskotek, klub malam, bar, dan coffee shop. Ibarat kata, di mata Gus Mik, seorang bajingan dan seorang suci adalah sama: manusia. Dan manusia memiliki potensi untuk memperbaiki diri.

"Kerinduannya kepada realisasi potensi kebaikan pada diri manusia inilah yang menurut saya menjadikan Gus Mik supranatural," kata Gus Dur dalam buku Gus Dur Menjawab Tantangan Zaman, terbitan Kompas, Jakarta, 1999.

Kiai-kiai yang nyentrik dengan dua pengertian itu memang bertebaran di NU, sebuah organisasi keagamaan yang berbasis kultural di pesantren tradisional. Tapi, tak pelak, cerita yang harum beredar di masyarakat adalah kenyentrikan yang bersifat permukaan. Bisa jadi karena hal permukaan itu yang memang mudah dilihat dan karenanya menjadi cerita eksotis bagi orang kebanyakan. Cerita-cerita supranatural itu banyak beredar dari mulut ke mulut, sementara kearifan para kiai nyentrik kurang memperoleh catatan yang memadai. Bisa jadi karena tradisi penulisan sejarah kurang memberikan pendekatan dari segi substansi. Atau, bisa jadi karena para kiai nyentrik itu cenderung hidup di luar pagar resmi organisasi.

Para kiai yang mengundang pesona eksotisme itu hadir sejak awal sejarah NU hingga kini. K.H. Muhammad Kholil (1835-1925), pendiri pesantren yang kini bernama Syaikhona I di Desa Kademangan, Bangkalan, misalnya. Kiai yang dianggap moyang para kiai supanatural itu memiliki kisah mistis-simbolis berkaitan dengan sejarah pembentukan NU. Guru para kiai besar di Jawa itulah yang menjadi penginspirasi pembentukan NU lewat isyarat penyerahan sebatang tongkat pada 1924, dan sebuah tasbih setahun kemudian, yang dikirim lewat Kiai As'ad Syamsul Arifin, pendiri Pesantren Asembagus, Situbondo, kepada K.H. Hasyim Asy'ari, murid Kiai Kholil yang kemudian terkenal sebagai pendiri NU.

Kenyentrikan Kiai Kholil tampak sejak muda. Ketika belajar di Pesantren Langitan. Tuban, Kholil pernah membuat terpana Kiai Muhammad Noer, gurunya. Suatu hari Kholil ikut salat berjamaah yang diimami Kiai Noer. Di tengah salat, Kholil tertawa terbahak-bahak—sesuatu yang bisa membatalkan salat. Usai salat, Kiai Noer menanyakan alasan Kholil tertawa. "Maaf, kiai. Ketika salat tadi, saya melihat kiai sedang mengaduk-aduk nasi di bakul. Karena itu saya tertawa," kata Kholil seperti ditulis dalam buku Biografi dan Karomah Kiai Kholil Bangkalan terbitan Pustaka Ciganjur, 1999. Santri muda itu tampaknya bisa membaca pikiran orang. Seperti yang diakui Kiai Noer, memang ketika salat, dia yang sedang lapar membayangkan terus nasi di benaknya.

K.H. Abdul Wahab Abdullah (1888-1971), murid Kiai Kholil yang kemudian menjadi pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang, juga ketularan kelebihan gurunya. Salah seorang pendiri NU itu mempunyai andil dalam pencarian nama NU. Caranya pun lewat jalan spiritual. Konon, sebelum penentuan pilihan dari sejumlah nama, Kiai Wahab melakukan istikharah, salat untuk menentukan pilihan. Dalam suatu penglihatan mata batin, Kiai Wahab bertemu Sunan Ampel, seorang wali Jawa Timur, yang memberi blangkon dan sapu bulu ayam bergagang panjang. Tak jelas apa arti simbol itu. Tapi, menurut Hasib Wahab, anaknya, dalam penglihatan itulah Kiai Wahab memperoleh keputusan untuk menamakan organisasi kaum ulama tradisional itu dengan nama NU.

Kiai Wahab, yang sewaktu muda dijuluki macan oleh Kiai Kholil, Bangkalan, itu dalam sejarahnya selain jago berdebat politik juga dikenal sebagai pendekar silat. Ada cerita, suatu waktu di Desa Tambakberas berlangsung pertandingan pencak silat. Semua jago silat di Jawa Timur konon turun gelanggang. Salah satu jagoannya, Djojo Rebo, dikenal kebal. Ketika hampir semua pendekar takluk, Djojo Rebo melihat kehadiran Kiai Wahab hanya sebagai penonton. Padahal, Gus Dul, begitu panggilan akrab Kiai Wahab, dikenal jago silat.

Djojo Rebo pun menantangnya. "Gus Dul, ayo turun kemari. Keluarkan seluruh ajimat yang kamu bawa dari Mekkah. Ayo kita bertarung," kata Djojo Rebo. Kiai Wahab, yang baru saja pulang dari Tanah Suci untuk belajar agama, itu tak bisa menolak tantangan. Akhirnya Kiai Wahab turun juga. Tapi jurusnya unik: ia hanya berdiri mematung dengan sorot mata memandang ke mata Djojo Rebo. Tiba-tiba tubuh Djojo Rebo terempas dan melayang bagai kapas hingga jatuh ke tanah.

Kelebihan Gus Mik terasa lebih hidup karena masih banyak kesaksian segar yang bisa dikumpulkan, termasuk dari anak-anaknya. Gus Sabut Pranoto Projo menyimpan kisah tentang kemampuan pecah diri (bi-lokasi) Gus Mik. Ketika Kiai Romly, pendiri Pesantren Darul Ulum, Jombang, dan seorang mursyid tarekat meninggal dunia, keluarga Kiai Akhmad Jazuli, ayah Gus Mik, datang melayat. Menjelang berangkat, Gus Mik kecil menolak ajakan untuk melayat ke Jombang dan memilih tinggal di rumah. Tapi, setelah keluarga itu tiba di rumah duka, Gus Mik telah berada di tempat yang sama. Lebih mengherankan lagi, keluarga Kiai Romly menyaksikan bahwa Gus Mik telah menemani almarhum sejak seminggu sebelum Kiai Romly wafat.

Kisah-kisah supranatural bertebaran di kalangan NU. Salah satu faktornya karena sebagian kiai nahdliyin menjalankan tradisi sufisme. Di lingkungan NU, seperti kata doktor sejarah dan kebudayan Andree Fellard dalam buku NU vis-à-vis Negara, para kiai yang tergabung dalam tarekat memiliki pengaruh yang paling kokoh terhadap masyarakat luas di pesantren ataupun di luar wilayah desanya. Pengaruh yang mereka dapatkan datang dari kepercayaan masyarakat terhadap bakat supranatural yang dimiliki kiai: sebagai penyembuh, pengusir makhluk halus, dan sebagai penasihat rumah tangga. Ketersohoran kiai tarekat telah turut mengimbangi memudarnya otoritas ulama dan ahli fikih yang pernah berpindah ke tangan birokrasi.

Kiai dengan kelebihan supranatural masih hadir hingga masa menjelang pergantian abad ke-21. Lora Kholil, 31 tahun, adalah kiai muda yang memiliki percikan khoriqul `adah di masa kini. Pamor lulusan Universitas Ainus Syams, Saudi Arabia, itu amat kondang di Situbondo. Bukan hanya karena pengaruh nama besar K.H. As'ad Syamsul `Arifin, ayahanda dan pendiri Pesantren Asembagus, Situbondo, tetapi dia sendiri memiliki aura kewibawaan. Berbadan ceking, selalu bersarung dengan surban putih, pengasuh Pesantren Walisongo, Situbondo, itu berhasil "menaklukkan" ribuan anak jalanan (preman) pada awal 1990-an.

Dalam konteks masyarakat tradisional feodal, ketertarikan kepada dunia supranatural adalah keniscayaan. Penjelasan supranatural yang cenderung irasional dan dogmatis, untuk banyak hal, juga sering dikemukakan sebagai cara pemitosan seorang tokoh untuk memperoleh legitimasi kepemimpinan. Tapi, seiring perubahan zaman, akankah tradisi itu bertahan? Dan daftar pertanyaan bisa lebih panjang serta penting: bisakah penjelasan "yang tidak jelas" memuaskan daya kritis masyarakat yang menuntut demokratisasi, transparansi, egalitarianisme, dan meritokrasi?

Pertanyaan-pertanyaan seperti menjadi lebih penting lagi mengingat gelombang perubahan akibat modernisasi telah menyapa kalangan NU. Kini, dari kalangan nahdliyin, generasi baru muncul. Gus Dur adalah tipe pembaru, yang disebut oleh ahli masalah Islam Indonesia, Greg Barton, digolongkan sebagai cendekiawan muslim neomodernis.

Dari sayap lain, K.H. Ahmad Mustofa Bisri dari Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, memilih untuk tidak memiliki kelebihan supranatural dengan menekankan tasawuf pada aspek akhlak dan pengolahan interioritas batin. Toh, kekuatan supranatural bisa dipelajari setiap orang (lihat juga: Mukjizat, Mata Ketiga, dan Sains). Juga K.H. Habib Luthfi, seorang ulama tasawuf yang lebih suka menebarkan pesona musikal. Menyikapi kenyentrikan kiai, Gus Dur memberikan contoh terbaik: mengagumi yang substansi daripada yang permukaan.

3 comments:

Khoriqul 'addah bahasa Arab. Keturunan 'alawiyyin biasa nyebut dengan Majdub. Kyai Madura dan Jawa Timur turunan Madura biasa bilang Khelaf. Sah-sah saja sebagai bagian dari tradisi. Asal jangan digunakan para Gus yang doyan nge-Meril untuk ngebujuk "santri biasa". Modus atas nama khoriqul adah ini biasa juga digunakan Gawagis (Shigat muntahal jumu' dari Gus) dan Lawaris (Muntahal jumu' Lora) untuk tujuan eksploitasi seks santri sejenis. Serem.....

hehehe... sepertinya pengalaman pribadi neh (peace..!)

dicky@ TENDENSIUS BANGEET SIIH.....