Syekh Ali- Gom'ah

Habib Mundzir Al-Musawa

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Syekh Abdul Halim Mahmud

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, November 16, 2008

Menembus Batas


Alam Mitsal (alam malakut) adalah alam yang berada antara alam makna/spiritual (alam jabarut) dan alam dunia atau alam jasmani (alam muluk). Alam muluk adalah alam dunia yang sedang kita lalui saat ini sedangkan alam jabarut adalah alam ketuhanan dan alam yang ketiga adalah alam yang akan kita bahas saat ini.
Karakter utama dari alam mitsal adalah bahwa di alam ini yang murni spiritual dimaterikan, sedangkan yang materi dispiritualkan, alam ini adalah alam perantara antara alam jasmani dan rohani yang mana mahluk jasmani seperti manusia tidak mungkin bisa berkomunikasi dengan mahluk spiritual seperti malaikat atau jin. Di alam misal jiwa-jiwa manusia yang sucilah yang diijinkan untuk bisa masuk, sedangkan jiwa yang masih kotor dengan dunia atau terbelenggu oleh ikatan-ikatan dunia tidak akan diijinkan masuk. Dan ini bisa dicapai ketika manusia berhasil melakukan pembersihan diri (tazkiyat al-nafs) yang pada intinya adalah penspiritualan manusia, karena alam mitsal adalah untuk jiwa yang telah dispiritualkan atau dibersihkan dari debu dunia, dan bukan untuk jiwa yang kotor, lebih-lebih bukan untuk jasad manusia. Tidak bisa entitas jasmani masuk ke dalam alam misal. Walaupun ada juga yang menempuhnya dengan jalan menyimpang mereka tertipu (terkena talbis syaithan) dan makin tersesat di dalamnya yang pada akhirnya mengaku-ngaku Waliyullah, nabi, rosul bahkan mengaku Tuhan (Na'udzubillahi min dzalik)
Dikisahkan oleh Ibn ‘Arabi bahwa orang-orang yang telah berhasil memasuki alam mitsal, mereka akan disambut di sebuah gerbang oleh mahkluk yang telah ditugaskan oleh Allah untuk melayaninya. Mereka mempersembahkan dan menganugerahi mereka dengan jubah kebesaran sesuai dengan tingkat kesucian mereka. Lalu ia mengajak mereka untuk berjalan-jalan dan berkeliling di sana. Yang menakjubkan adalah bahwa ternyata mereka bisa melakukan dialog bukan hanya dengan jenis manusia tetapi dengan batu-batuan, kayu, hewan, dan sebagainya. Demikian juga mereka bisa berkomunikasi dengan sesama manusia yang berbeda-beda bahasanya.
Dengan apakah mereka melakukan dialog seperti itu? Dialog seperti itu tentu tidak dilakukan dengan lisan lahiriah tetapi dengan “lisan” batiniah. Kita juga tidak melihat mahkluk-mahkluk itu dengan mata lahiriah kita tetapi dengan mata batin kita. Sesungguhnya sebagian besar kita juga telah mengalami, dalam tingkatnya yang rendah, berdialog atau melakukan persepsi/pengindraan batin ini. Dalam mimpi ketika mata lahiriah kita tertutup rapat, kita toh bisa melihat obyek-obyek yang muncul dalam mimipi kita. Dengan mata manakah kita bisa melihat obyek-obyek tersebut ketika mata kepala kita tertutup rapat ? Tentu dengan mata batiniah. Bahkan dalam mimpi selain bisa melihat orang-orang yang masih hidup kita bisa melihat orang-orang yang sudah meninggal. Dengan mereka bukan saja kita bisa saling pandang tetapi juga bisa mengadakan dialog. Bagaimana kita bisa melakukan dialog dengan mereka ketika mulut kita terkatup? Tentu bukan dengan lisan yang sehari-hari kita gunakan. Bukankah Allah juga menunjukkan dalam salah satu ayatnya bahwa pada hari kebangkitan bukan lisan kita yang berbicara, tetapi tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh kita yang lainnya. Ini adalah isyarat bahwa ada selain lisan yang bisa kita gunakan untuk berkomunikasi pada tataran dunia yang lebih tinggi.
Alam mitsal ini, menurut para ahli (ahli sufi, Mursyid Thariqah), terbagi menjadi dua. Bagian atas lebih mencerminkan dunia spiritual yang disimbolkan dengan istilah “jabal qa” sedangkan bagian bawah lebih mencerminkan dunia material/jasmani yang disimbolkan dengan istilah “jabal sha”. Bagian atas alam mitsal ini merupakan tempat bagi mahkluk-mahkluk spiritual, seperti malaikat, untuk memanifestasikan dirinya kepada orang-orang yang berkenan masuk ke alam ini, sedangkan bagian bawahnya tempat bermanifestasinya mahkluk-mahkluk lainnya, seperti jin, barangkali tuyul, dedemit, gondoruwo dan sebagainya, dengan mana orang-orang tertentu bisa mengadakan komunikasi atau dialog.
Dari apa yang telah dijabarkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa di alam mitsal kita berdialog bukan dengan indra lahir tetapi indra batin, karena memang kita, menurut para pemikir muslim, memiliki bukan hanya panca indera lahir tetapi juga panca indera batin, yang masing-masing bisa mempunyai pengalaman yang unik. Wallahu a'lam.

Saturday, November 15, 2008

Surat Barack Obama Tentang Islam


I found the below letter from BArack Obama very interesting reading as it does shed a light on the new President's mindset in terms of how he views people. I still have a hard time believing that he will somehow shift the current trajectory of America's blatantly imperialist policies. I guess we can only wait and see.


-------------------------------------------
There has been a lot made in the recent weeks about the Muslim history
of my family. Some of the things that have been said are true, others
are false, so I am writing this letter to clear up the
misunderstandings on this issue.

Yes, it is true that I have a name that is common amongst Kenyan
Muslims where my father came from and that my middle name is Hussein.
Barack is a name which means "blessing" and Hussein is a masculine
form of the word beauty. Since there is nothing inherently wrong with
the concept of blessings from God and the beauty He creates I fail to
see the problem with these names. Some will say wouldn't it be a
problem to have a president with a name similar to the deposed and
executed former dictator of Iraq ? My answer to this is simply no;
rather it is the strength and beauty of America that the son of an
African man with a "funny sounding" name, born under British Colonial
Rule, can now be a serious candidate for the presidency of the United
States .

My father was a Muslim and although I did not know him well the
religion of my father and his family was always something I had an
interest in. This interest became more intense when my mother married
an Indonesian Muslim man and as a small child I lived in Indonesia and
attended school alongside Muslim pupils. I saw their parents dutifully
observing the daily prayers, the mothers covered in the Muslim hijab,
the atmosphere of the school change during Ramadan, and the
festiveness of the Eid celebrations.

The man my mother was married to was not particularly religious; but
he would attend the mosque on occasion, and had copies of the Quran in
different languages in the home, and books of the sayings and life of
the Prophet Muhammad. From time to time he would quote Islamic phrases
such as "no one truly believes until he wants for his brother what he
wants for himself", "oppression is worse than slaughter", and "all
humans are equal the only difference comes from our deeds".

Growing up in Hawaii with my mother and her grandparents Islam
largely escaped my mind. My mother installed in me the values of
humanism and I did not grow-up in a home were religion was taught.

It was later while I attended college at Columbia University and
Harvard Law that I became reacquainted with Muslims as both schools
had large Muslims student populations. Some of them were my friends
and many came from countries that our nation now has hostile relations
with. The background I had from my early childhood in Indonesia
helped me get to know them and learn from them and to me Muslims are
not to be looked upon as something strange. In my experiences up until
college a Muslim was no less exotic to me than a Mormon, a Jew, or a
Jehovah's Witness.

After college I settled in my adopted hometown of Chicago and lived
on the South Side and worked as a community organizer. Chicago has
one of the largest Muslim populations in America (estimated to be
around 300,000) and Muslims make-up some of the most productive
citizens in the area. I met countless numbers of Muslims in my job as
an organizer and later on in my early political career. I ate in their
homes, played with their kids, and looked at them as friends and peers
and sought their advice.

Therefore, when the tragic terrorist attacks of 9-11 occurred I was
deeply saddened with the rest of America , and I wanted justice for
the victims of this horrific attack, but I did not blame all Muslims
or the religion of Islam. From my experience I knew the good character
of most Muslims and the value that they bring to America . Many, who
did not personally know Muslims, indicted the entire religion for the
bad actions of a few; my experience taught me that this was something
foolish and unwise.

Later I had the chance to visit the homeland of my father and meet
Muslim relatives of my including my grandmother. I found that these
were people who wanted the same things out of life as people right
here in America and worked hard, strive to make a better way for
their children, and prayed to God to grant the success.

This is what I will bring to the office of the Presidency of the
United States . I will deal with Muslims from a position of
familiarity and respect and at this time in the history of our nation
that is something sorely needed.

Barack Obama

San Francisco, California , USA"

Klo mo jelasnya buka Link

Saturday, November 8, 2008

Amrozi dkk Sudah Di Eksekusi


Innalillahi wainna ilaihi roji'un....
Amrozi dkk sudah di eksekusi pada jam 00.00 Minggu, 9 November 2008. Apakah kita "puas,sedih,miris,ngeri,bahagia,marah atau malah nggak peduli" terhadap aksi eksekusi mati terhadap pengebom di hotel yang ada di Bali?...Apa serta mengapa yang membuat anda bersikap demikian? pastinya kita akan memiliki jawaban yang sangat beragam akan hal ini.

Menurut hemat penulis aksi "hukum pancung"(baca tembak mati,red)terhadap mereka bertiga kurang atau bahkan bukan ide dan jalan keluar yang terbaik, jika yang di harap pemerintah adalah supaya mereka(yang sealiran amrozi dkk)jera,maka menurut saya itu bukan penyelesaian yang tepat karena orang seperti mereka sudah terdoktrin yang sangat susah untuk bisa keluar dari jerat tersebut,langkah yang tepat menurut penulis adalah dengan mensosialisasikan ajaran yang humanis baik di sekolah-sekolah negeri maupun swasta di berbagai jenjang,pesantren dan lembaga-lembaga di masyarakat.

Karena mereka kurang memahami agama mereka secara kaffah maka dalam hal ini peranan Pesantren sangat dominan,Oleh karena itu pemerintah harus bekerja sama dengan pesantren demi mewujudkan keamanan dan keharmonisan antara warga dan negara.

Dalam hati saya bertanya-tanya, apakah dengan telah di eksekusinya Amrozi dkk maka aksi terorisme akan hilang dari bumi Indonesia?...Wallahu a'lam